Pondasi Aqidah di Usia Dini
“Mendidik
anak sedari kecil adalah ibarat mengukir di atas batu.” Sabda Nabi saw
tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya mendidik anak
sedini mungkin. Anak yang masih kecil, mendidiknya membutuhkan
kesabaran karena harus terus mengulang-ulang konsep yang hendak
ditanamkan. Namun begitu konsep tersebut sudah masuk, maka ia akan
tertancap dengan kuat di sana, sulit hilang seperti ukiran di atas batu.
Anak
usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki
karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini
merupakan masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek
perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya.
Pada masa ini pertumbuhan otak berlangsung sangat pesat (eksplosif).
Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting menentukan
kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak usia 4 tahun
telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada saat
mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa informasi awal yang diterima anak akan
cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa berikutnya.
Oleh karenanya anak perlu rangsangan psikososial dan pendidikan.
Bagi
anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi
keberhasilannya pada masa yang akan datang. Pendidikan agama tidak
pelak lagi menjadi suatu kebutuhan bagi anak usia dini untuk membentuk
kepribadian Islam. Secerdas apapun seorang anak, tanpa memiliki
pendidikan agama sebagai landasan hidupnya, maka hidupnya di dunia
tidak ada nilainya. Rasulullah saw bersabda :
“Orang
yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta
biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang
yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara
dia berangan-angan kepada Allah” (HR. At tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah,
dan al-Hakim).
Dengan
demikian pendidikan agama adalah kerangka yang kita gunakan dalam
membentuk anak usia dini. Ilmu-ilmu lain seperti matematika, membaca,
kesenian, sains dan sebagainya adalah pelengkap, yang memberi warna dan
penampakan luar bagi kerangka tersebut.
Yang
terpenting bagi orangtua adalah mengubah paradigma berpikir tentang
anak. Selama ini orangtua berpandangan bahwa anak adalah asset, tempat
orangtua bergantung nanti saat tua telah datang. Paradigma semacam ini
menempatkan anak dalam rangka kebutuhan orangtuanya. Anak diarahkan
untuk bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua kelak.
Ada
pula paradigma yang lahir dari ide kapitalis-liberalis. Bahwa anak
adalah individu yang unik dan berbeda. Maka anak diberi hak untuk bebas
dalam menentukan pilihan, bebas untuk berkembang menjadi apapun yang ia
inginkan. Bahkan sampai dikeluarkan konvensi hak anak yang mencakup
juga hak anak untuk memeluk agama berbeda dari orangtuanya.
Paradigma
yang seharusnya kita bangun adalah setiap anak memiliki hak untuk masuk
surge kelak. Orangtua harus memastikan agar anak memperoleh haknya
tersebut. Dengan demikian, orangtua mendidik anak untuk menjadikan
hidupnya sebagai ladang amal. Bila anak menyimpang, orangtua wajib
untuk meluruskan anak, sekalipun untuk meluruskan tersebut orangtua
harus melakukan pemaksaan.
Paradigma
semacam ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan
sebaik-baiknya. Orangtua dengan cermat akan mengidentifikasi hal-hal
apa yang bisa mengantarkan anak untuk meraih keridhaan Tuhannya dan apa
saja yang bisa menghalanginya. Ia akan merumuskan target-target yang
harus dicapai dalam mendidik anak, bukan semata mengikuti keadaan dan
keinginan anak, atau seperti mengikuti air mengalir saja. Ia memilih
apa yang bisa membahagiakan anak di akherat sekalipun pahit, bukan apa
yang membahagiakan anak di dunia tapi mencelakakan akheratnya.
Untuk
menguasai metode pendidikan anak yang paling tepat, kita terlebih
dahulu harus mengenali potensi, karakter dan tahapan perkembangan anak
dan menetapkan target-target yang jelas.
Mendidik
anak usia dini pada dasarnya adalah mempersiapkan mereka untuk mampu
menerima beban taklif hukum syara’ pada saat mereka mencapai usia
baligh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan,
antara lain :
Mempersiapkan
indera, otak, fisik, emosi, dan seluruh potensi hidup anak sehingga
pada tahapan selanjutnya (usia pra baligh dan baligh) telah terlatih
dan dapat melakukan aktivitas berpikir dan bersikap berdasarkan Islam
Melakukan
stimulasi (rangsangan-rangsangan) yang tepat sesuai dengan tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (0-6 tahun)
Tidak memberi sanksi dan pembebanan yang lebih dari kemampuan pada anak usia dini
Belajar dilakukan sambil bermain tidak dengan pemaksaan
Tidak
memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang telah sempurna akalnya
hingga bisa mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan
naluri
Potensi Anak Usia Dini
Potensi
yang dimiliki anak adalah sama dengan orang dewasa yakni akal, naluri
dan kebutuhan fisik. Akal adalah proses berpikir pada manusia. Proses
berpikir terjadi ketika indera menangkap fakta, kemudian mengirimnya ke
otak yang menghubungkan fakta dengan informasi yang telah ada
sebelumnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
Untuk
mengasah kemampuan berpikir anak, orangtua harus memberikan stimulasi
pada komponen-komponen dalam aktivitas berpikirnya. Fakta yang dapat
dicerap indera anak diperbanyak, misalnya dengan mengajak anak
berjalan-jalan dan mengenalkan anak pada alam dan lingkungan di
sekitarnya. Merangsang fungsi indera, seperti menyediakan berbagai
mainan dengan berbagai warna, bentuk dan tekstur, memperdengarkan
berbagai bunyi-bunyian, mengenalkan beraneka rasa dan seterusnya.
Orangtua mengoptimalkan pertumbuhan otak anak dengan memberikan makanan
bergizi dan menciptakan suasana penuh kasih sayang. Orangtua memberikan
informasi-informasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak seperti
mengenalkan nama-nama benda, memperkaya kosa katanya, membacakan
cerita, mengenalkan anak pada Allah dan rasul, dan sebagainya.
Naluri
memiliki tiga penampakan, yakni naluri mempertahankan diri (gharizah
baqa’), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau’) dan naluri
mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun). Ketiga naluri ini juga perlu
mendapatkan stimulasi sedari dini.
Anak
kita ajarkan untuk mengontrol emosinya, menyampaikan pendapat secara
terbuka dengan cara yang ma’ruf dan memupuk rasa percaya dirinya dalam
naluri baqa’. Untuk naluri nau’, anak kita ajarkan perbedaan laki-laki
dan perempuan, mengungkapkan kasih sayang kepada keluarga, dan
bersilaturahim. Sedang untuk mengasah naluri tadayyunnya, kita ajak
anak untuk mengenal Pencipta melalui alam semesta, menanamkan kekaguman
atas keagungan-Nya dan mulai mengajak anak melakukan ibadah.
Untuk
potensi yang terkait dengan kebutuhan fisik, maka yang perlu kita
perhatikan adalah melatih kemampuan fisik anak, baik motorik kasar
seperti berlari, melompat, merayap, berenang, dan sebagainya; juga
motorik halus seperti menggunting, menggambar, menarik garis, menempel,
dan sebagainya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya anak
mulai kita kenalkan dengan konsep halal haram, sehingga nantinya ia
memiliki standar dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.
Karakteristik Anak Usia Dini
USIA 0-2 TAHUN
Anak berinteraksi secara fisik dan belajar dengan lingkungannya melalui panca indera (mencerap fakta dan informasi).
Pada
awalnya perbuatan yang dilakukan hasil dari refleksi murni; lalu
menjadikan dirinya sebagai obyek yang berhubungan dengan obyek-obyek
lainnya (memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya dan berusaha
memintanya)
Anak
belum dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan, karena itu ia
menerima segala informasi yang datang dari luar dirinya, memiliki
ketergantungan yang tinggi pada orang lain, dan pasrah terhadap segala
perlakuan yang diberikan kepadanya, baik yang sesuai dengan
perkembangan dirinya maupun tidak sesuai dengan perkembangan dirinya.
Informasi
yang masuk akan diterima anak dengan bentuk global (tidak memperhatikan
bagian-bagian), langsung (diterima apa adanya dan langsung
mengikutinya) , pasif (belum memberi tanggapan yang berarti), dan
spontanitas (belum ada kontrol perilaku atau bahasa).
Cara
berkomunikasi anak usia 0-1 tahun adalah melalui tangisan/jeritan;
ocehan atau celoteh; isyarat serta ekspresi emosional, sedangkan pada
usia 1-2 tahun anak mulai mengeluarkan bunyi (satu kata) yang
mengandung arti yang berbeda-beda (sebagai satu kalimat penuh);
menyebutkan dua kata dengan maksud yang lebih jelas (mampu mengatur
kembali kata-kata dalam bahasanya).
Kemampuan berbahasa anak usia ini diperoleh melalui proses Imitasi (menirukan), pengulangan dan merangkai kata-kata.
Sedangkan
cara bersosialisasi adalah dengan mengenal orang-orang yang biasa
berada disekitarnya , mengajak berkomunikasi dan menjadikan mereka
sebagai pemenuh kebutuhannya. Anak juga belum mudah beradaptasi dengan
orang-orang/tempat-tempat yang baru dikenalnya. Dalam bermain, anak
bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri tidak ada kontak satu
sama lain (bila ada kontak, maka yang terjadi perebutan dan penguasaan
mainan).
Pada
usia 0-2 tahun ini, anak diajarkan berbagai ketrampilan untuk hidup
mandiri, seperti mengenakan pakaian, makan, minum, dsb. Periode ini
juga periode perkembangan fisik yang pesat, sehingga anak perlu
dirangsang untuk mengembangkan fisik dan motoriknya. Begitu juga dalam
perkembangan bicara, anak perlu dirangsang dengan banyak mengajaknya
berbicara, mengenalkan berbagai nama benda dan kosa kata baru, serta
membacakan buku cerita anak yang sederhana.
Yang
paling penting, anak disuasanakan dengan suasana islami untuk
menumbuhkan minat dan kecenderungannya terhadap agama. Misalnya
memperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, melibatkan anak dalam shalat,
mengajarkan lagu anak-anak Islam, mengajarkan anak mengucap lafazh
Allah dan Muhammad, membaca doa-doa harian, dan membiasakan anak
perempuan memakai kerudung.
USIA 2-4 TAHUN
§ Latihan proses berpikir anak dilakukan dengan cara:
Pengalaman (segala sesuatu yang dialami dan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan)
Pengulangan (mengulang-ulang suatu perbuatan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan atas perbuatan tersebut
Peniruan (imitasi):Mengikuti secara persis apa yang dilihat (perbuatan/perlaku) dan yang didengarnya (ucapan) orang disekitarnya
Perhatian (Memperhatikan segala sesuatu yang baru dan yang kontras terhadap apa yang dilihat dan didengarnya)
§
Eksploratif secara individu (menjelajah segala sesuatu yang menjadi
perhatiannya termasuk dalam bentuk eksplorasi penolakan/pembangkangan)
§ Berpikir statis (tidak dapat berpikir dibalik), telah dapat mengatur secara serial
§ Sudah dapat membedakan dan mengklasifikasi bentuk dan warna
§
Sudah dapat berpikir secara simbolik (menyesuaikan diri dengan pola
pikir orang lain dengan cara meniru gerakan dan ucapan orang lain)
§ Belum mampu berpikir secara logis dan abstrak masih bersifat egosentris (berpikir terhadap dirinya sendiri)
§
Cara Berkomunikasi pada usia ini adalah menggunakan bahasa untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya (sudah mengerti hubungan sebab
akibat) dan anak sudah bisa memberi umpan balik dalam berkomunikasi
§
Dalam hal bersosialisasi, anak sudah mulai melepaskan dirinya terhadap
ketergantungan dengan orang lain. Ia sudah bisa bermain bersama dengan
caranya sendiri-sendiri dan mulai bermain bersama dengan melibatkan
dirinya
§
Disiplin sikap mulai dilatih tanpa harus memaksanya untuk melakukan
dengan benar, begitu juga dengan disiplin waktu, karena anak belum bisa
menerapkan disiplin waktu .
Selain
terus mengajarkan apa yang harus diajarkan di tahap sebelumnya, anak
usia ini sudah dapat diberikan stimulasi yang lebih luas. Untuk
merangsang proses berpikirnya, anak diberikan kesempatan mengeksplorasi
lingkungannya untuk mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya dalam hidup.
Misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan ke tempat-tempat yang
berbeda, mengamati alam lingkungan dan melakukan berbagai aktivitas.
Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengenalkan keberadaan Pencipta
pada anak melalui pengamatan terhadap ciptaan-Nya.
Dalam
memberikan informasi untuk merangsang proses berpikirnya, orangtua
hendaknya tidak bosan untuk mengulang-ulangnya. Hal ini adalah bagian
dari tahapan berpikirnya. Maka buang jauh prasangka kita bahwa anak
“bandel” karena terus melakukan apa yang kita larang atau melanggar apa
yang kita perintahkan.
Karena
masa ini adalah masa imitasi atau peniruan, kita perlu memberikan
contoh keteladanan yang baik untuk anak. Mengajaknya untuk ikut shalat,
mengaji, dan melibatkannya dalam aktivitas dakwah kita adalah hal yang
harus kita lakukan untuk membentuk kebiasaan dan karakter anak. Begitu
pula memberikan keteladanan dalam berkata yang baik, berbuat baik,
serta mengasah perasaan peduli dengan orang lain.
Untuk
memunculkan jiwa kepemimpinannya, beri kesempatan pada anak untuk
membuat keputusan, menghargai pendapat-pendapatnya, dan merangsang
keberaniannya untuk tampil di hadapan orang lain.
Pada
usia ini, anak dapat mulai diajak untuk menghafal surat-surat pendek.
Sambil bermain, ibu dapat memperdengarkan surat-surat pendek
berulang-ulang. Anak akan secara otomatis merekam, sehingga mudah
baginya untuk hafal lebih cepat. Ditunjang dengan sifat imitasinya,
yaitu meniru, maka sekalipun anak belum mampu melafazhkan dengan tepat,
namun ia telah memiliki dasar untuk hafalannya. Begitu pula membacakan
doa-doa rutin harian akan mempercepat anak untuk hafal dan menjadi
kebiasaannya.
Hadist-hadist
pendek juga sudah dapat mulai diajarkan. Ketika menegur anak, atau
mengajarkan sesuatu, bacakan hadistnya. Misalnya saat anak bertengkar,
kita dapat menyampaikan:”Kata nabi kita, al muslimu akhul muslim,
sesama muslim itu bersaudara.” Membacakan hadist akan membangun
ketaatan anak pada Rasulullah saw, dan memudahkan anak menerima beliau
sebagai teladan. Anak juga akan terbiasa untuk terikat dengan dalil
pada saat melakukan sesuatu.
USIA 4-6 TAHUN
Masa
keingintahuan (mulai berpikir dengan 4W+1H). Anak menjadi banyak
bertanya tentang segala apa yang dilihat dan menjadi perhatiannya. Anak
menjelajah untuk mengetahui bagaimana terjadinya benda atau sesuatu
itu, dan bagaimana ia dapat masuk atau menjadi bagian dari lingkungan
tersebut. Anak juga memiliki kreativitas yang tinggi, suka membongkar
pasang mainan dan mengubah bentuk yang sudah jadi atau mainan bongkar
pasang
Proses terbentuknya kemampuan berpikir, meliputi poin-poin sebagai berikut :
Pengalaman
disimpan sebagai suatu pelajaran dan menjadi pemahaman bila diberi
stimulus yang berhubungan dengan pengalaman tersebut
Mengeluarkan informasi yang diperoleh dikeluarkan dalam bentuk pemahaman (bukan sekedar pengulangan kata)
Pemahaman yang diperoleh belum mampu untuk direalisasikan, sebatas memahami sesuatu dan menanggapi atas pemahamannya
Belum mampu menjabarkan, menguraikan dan menjelaskan secara rinci terhadap pemahaman tersebut
Perkembangan
sosialisasi : masa ini adalah masa bermain dan berkelompok. Anak ,
banyak menghabiskan waktu dengan bermain secara bersama-sama dengan
teman sebayanya (bermain sosial). Anak sudah dapat membedakan antara
benda miliknya dengan miliknya orang lain; sudah dapat berhubungan
dengan orang lain dan akan mencari teman sebaya untuk menjadi anggota
kelompoknya.
Anak
sudah mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain dan mampu
mengerti apa yang dilakukan orang lain untuk dirinya. Namun di sisi
lain anak belum mampu memposisikan dirinya pada tempat orang lain
(empati).
Cara berkomunikasi:
Sudah mampu secara aktif mengambil peran dalam komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya
Sudah mulai menunjukkan sikap suka protes dan tidak mau kalah dalam berbicara
Sudah mulai menggunakan kata-kata untuk mempertahankan pendapatnya
Masa negativisme, anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan
Berusaha menunjukkan perhatiannya dengan melakukan berbagai aktivitas untuk dapat perhatian orang lain
Mulai
dilatih untuk memahami perpindahan obyek dengan bentuk yang berbeda
akan menghasilkan berat yang sama. Sudah mulai bisa menerapkan disiplin
waktu
Anak
sudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan akhlaq,
ibadah (puasa,berwudlu, sholat) dan muamalah (pinjam-meminjam dan
jual-beli).
Untuk
anak usia 4-6 tahun, lebih banyak lagi stimulasi yang dapat kita
berikan. Namun tetap dengan menciptakan suasana yang menyenangkan anak
tanpa melakukan pemaksaan. Rangsang rasa ingin tahu anak dengan
memberikan banyak fakta untuk dieksplor. Anak akan banyak bertanya pada
usia ini, mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab
semisal : aku darimana, Allah ada di mana, mengapa kita tidak dapat
melihat Allah, kemana perginya orang yang mati, dan sebagainya. Berikan
jawaban yang sederhana tetapi tidak membohongi anak. Bila mungkin
sertakan dalil dari Qur’an dan hadist.
Untuk
membentuk aqidah anak, kita teruskan mengenalkan ciptaan Allah dan
tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Selain itu berikan gambaran
tentang berbagai nikmat Allah untuk menanamkan kecintaan anak pada-Nya.
Misalnya bahwa Allah memberikan kita mata untuk melihat. Minta anak
untuk berjalan dengan mata tertutup. Bagaimana bila Allah tidak
memberikan mata untuk kita? Begitu pula setiap kita mendapat nikmat
Allah, maka ceritakan pada anak dan ajak ia untuk mensyukurinya.
Jelaskan bahwa Allah menyayangi kita. Dengan memahami kasih saying
Allah, anak akan belajar untuk mencintai-Nya. Di kemudian hari, akan
mudah bagi kita untuk memotivasi anak beribadah sebagai manifestasi
cintanya kepada Allah.
Kenalkan
juga anak dengan rukun-rukun iman lainnya. Untuk iman kepada yang ghaib
seperti malaikat dan hari akhir, berikan dalil dari al Qur’an. Sedang
keimanan terhadap al Qur’an, kita bisa jelaskan melalui bahasa
sederhana, misalnya dengan penganalogan buku panduan penggunaan alat
tertentu di rumah kita. Buku panduan penggunaan kompor misalnya. Bila
kita langsung menggunakan kompor gas yang belum pernah kita kenal
sebelumnya, maka bisa terjadi kesalahan yang berakibat fatal. Hidup
adalah hal yang lebih penting dan lebih rumit. Maka Al Qur’an adalah
buku manual manusia agar tidak salah langkah menggunakan hidupnya.
Tanamkan
kecintaan anak kepada Rasulullah saw dengan menceritakan kisah-kisah
perjuangan beliau, sifat-sifat beliau yang utama, dan kecintaan beliau
kepada umat. Jelaskan juga bahwa cara kita mencintai beliau adalah
dengan menjadikan beliau sebagai idola kita, teladan kita, mentaati
semua ajarannya dan menjauhkan diri dari apa yang beliau larang dan
tidak suka.
Sedangkan
iman kepada qadha dan qadar Allah dapat kita jelaskan dari fakta yang
ada di sekitar kita serta cerita-cerita, bahwa ketetapan Allah adalah
yang terbaik untuk kita, sekalipun kadang tidak sesuai dengan keinginan
kita.
Ajak
anak untuk menghafal surat-surat yang lebih panjang dari juz amma.
Tidak sulit insya Allah bila kita terus menerus mengulangnya. Anak
memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Sedangkan untuk belajar membaca
Al Qur’an, bisa dimulai pada usia ini namun tidak dipaksakan. Usia
ideal bagi anak untuk belajar membaca adalah 7 tahun. Bila kita
berkeinginan memulainya sebelum itu, buatlah suasana belajar menjadi
suasana bermain yang anak merasa nyaman di dalamnya. Tanpa tekanan,
paksaan, atau unsur menyalahkan.
Untuk
memotivasi anak dalam berbuat di usia ini, kita gunakan arah motivasi
mendekat, yaitu motivasi yang membuat anak terdorong untuk melakukan
hal yang ia anggap menyenangkan. Bukan motivasi menjauh, yakni
menakut-nakuti anak untuk menghindar dari suatu perbuatan. Contoh
motivasi mendekat adalah kalau ia berbuat kebaikan, maka Allah akan
memberikan pahala dan akan menyayanginya. Bila Allah sayang, maka Allah
akan membalas dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. Ini akan
membuat anak merasa bahwa Allah adalah dzat yang penyayang.
Sebaliknya,
memberikan motivasi menjauh seperti bila ia berbuat maksiat Allah akan
menghukumnya, atau nanti akan memasukkannya ke neraka, dapat
menciptakan image di benak anak bahwa Allah itu kejam. Dengan demikian,
kenalkan anak terlebih dahulu dengan surga. Bila ia telah tamyiz, mampu
membedakan baik buruk dengan konsekuensinya, baru kenalkan anak pada
konsep dosa dan neraka.
Motivasi
mendekat dapat pula diberikan melalui pemberian hadiah dan pujian.
Hadiah tidak selalu dalam bentuk materi, namun bisa berupa cium sayang,
pelukan, acungan jempol dan sebagainya. Sedang untuk pujian, selama
tidak terkait dengan ibadah, pujian sah-sah saja diberikan. Namun bila
terkait dengan ibadah, seperti anak melakukan shalat, pujian harus kita
ubah, bukan dengan mengatakan “anak umi shalih”, namun katakan “Allah
pasti akan memberimu pahala yang besar,” atau “anak umi pasti akan
disayang Allah.” Ini untuk menghindarkan anak dari sifat riya, yaitu
beramal untuk mendapatkan pujian.
Di
usia ini anak sudah bersosialisasi dalam kelompok. Untuk mencetak anak
dengan karakter pemimpin, yang terpenting adalah menumbuhkan rasa
percaya diri pada anak. Rasa percaya diri dapat ditumbuhkan bila kita
membentuk konsep diri yang positif pada anak. Konsep diri, yaitu cara
pandang anak terhadap dirinya, bila positif, seperti aku anak pintar,
anak shaleh, aku bisa, dan sebagainya, akan membuat anak menghargai
dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam relasi yang setimbang dalam
pergaulan kelompok.
Suasana
rumah yang terbiasa memberikan penghargaan kepada anak, memberikan
kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan membuat keputusan,
memberikan kepercayaan pada anak untuk mengerjakan tugas-tugas yang
mampu dikerjakan anak, serta menganggap anak memiliki posisi yang
penting dalam keluarga, akan membentuk sikap kepemimpinan pada anak.
Sikap ini tinggal dipupuk terus agar kelak lahir seorang pemimpin besar.
Target Pendidikan untuk Anak Usia Dini
Kita
perlu membuat target dalam mendidik anak agar kita memiliki arah yang
jelas seperti apa kita mendidik mereka. Target akan membuat langkah
kita lebih fokus. Target sebaiknya kita buat dalam parameter-parameter
yang terukur, bukan dalam bentuk global seperti menjadikan anak kita
anak yang shaleh. Bagaimana kriteria shaleh untuk anak usia dini? Perlu
kita jabarkan lagi.
Target yang harus kita capai dalam pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut:
Anak telah mengenal Allah dan rasul-Nya serta rukun iman yang lain
Anak hafal juz Amma
Anak dapat mengerjakan sholat dengan sempurna (gerakan dan bacaannya)
Anak hafal hadits dan do’a sehari-hari.
Anak
mengenal konsep pahala dan sorga, yang tampak dalam aktifitas
sehari-hari, misalnya : gemar beribadah, gemar berbagi (memberi kepada
orang lain ), gemar menolong orang lain dan senang melindungi yang
lemah, mau mengalah (mendahulukan kepentingan orang lain), sabar
(menunggu giliran, menyelesaikan pekerjaanya)
Anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok
Anak memiliki kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan yang kuat
Untuk anak perempuan, telah terbiasa menutup aurat saat bepergian keluar rumah
Dengan
adanya target-target ini, kita sebagai orangtua akan lebih mudah untuk
mengevaluasi kemampuan anak di setiap tahapan umurnya.
Inilah
beberapa prinsip dalam mendidik anak di usia dini. Ibu, yang merupakan
pelaku utama dalam proses pendidikan ini, harus selalu belajar dan
mengembangkan kreativitas dalam memberikan pendidikan yang terbaik
untuk anak. Sekalipun sekolah-sekolah untuk anak usia dini telah
banyak, termasuk yang bernafaskan Islam, tetapi tetap peran orangtua,
terutama ibu tidak tergantikan.
Dari
orangtualah anak mendapatkan pembiasaan, keteladanan, kasih sayang dan
pengertian. Maka orangtua juga perlu ikut membenahi diri, mendidik diri
sehingga mampu mendidik anaknya. Dengan cara inilah maka kita dapat
menunaikan amanah yang diberikan Allah dan siap
mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar