Soal:
Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya?Jawab:
Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.[1]
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.[2] Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:
اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا:
لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ
السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ
وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ
كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ
عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.[3]
Karena itu, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:
إِذَا
فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ
الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ
Jika
fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai
kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah
gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka
semuanya berdosa. [4] Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain. Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:
ثُمَّ
إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ
بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian,
kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain,
seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam
konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa
dihilangkan, kecuali oleh dia. [5] Dengan kata lain, fardhu kifayah dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:
خَاطَبَ
الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ
عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً
وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ
كِفَايَةٍ.
(Fardhu kifayah) menyerukan kepada
seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara
mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban
bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya,
maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan
dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh
fardhu kifayah. [6] Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.
Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini-sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim-kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.
Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
إنَّهُ
وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ
قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى
الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ
مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا
عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ
قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ
لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ
الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً
مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ
بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ
الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ
إِلاََّ بِهِ.
Fardhu kifayah merupakan kewajiban
bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan
kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara
akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang
mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap
mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat
pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu
melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan
memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan
kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang
mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan
diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban
tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. [7]Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
[1] Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, X/271 dan XI/42. [2] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368; al-’Allamah Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, II/185; al-’Allamah al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, II/437; al-’Allamah al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib; al-’Allamah al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal.
[3] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368.
[4] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, XIII/8.
[5] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II/19.
[6] Al-Imam al-’Allamah al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/68.
[7] Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar