Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih
saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya
Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau
hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih
mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak
karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan,
kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya
selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun
bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis
‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa
bebasnya):
Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.
Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih
Skak
match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya
turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.
Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya
al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini,
dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :
Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya
perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang
bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan
Daulah Khilafah Islamiyah.
Hormat Saya
Muhammad al-Fatih
2.
Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita
ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara,
tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga
yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?
3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita,
karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad
al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan
Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi
kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang
bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala
Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.
Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih
saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya
Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau
hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih
mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak
karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan,
kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya
selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun
bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis
‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa
bebasnya):
Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.
Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih
Skak
match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya
turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.
Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya
al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini,
dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :
Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya
perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang
bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan
Daulah Khilafah Islamiyah.
Hormat Saya
Muhammad al-Fatih
2.
Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita
ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara,
tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga
yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?
3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita,
karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad
al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan
Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi
kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang
bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala
Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar