Minggu, 09 September 2012

Surat Dari Muhammad Al Fatih Untuk Para Pemimpin

Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan, kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis ‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa bebasnya):


Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi  beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.

Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih


Skak match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.

Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini, dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :


Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Hormat Saya
Muhammad al-Fatih


2. Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara, tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?

3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita, karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.















Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan, kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis ‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa bebasnya):


Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi  beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.

Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih


Skak match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.

Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini, dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :


Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Hormat Saya
Muhammad al-Fatih


2. Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara, tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?

3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita, karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar