HTI-Press—Lebih dari 7.000 ulama hadir dalam Muktamar Ulama Nasional
(MUN) di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (21/7). Mereka
sepakat untuk mendukung perjuangan menegakkan syariah dan khilafah.
Wujud dukungan para ulama itu dituangkan dalam Mitsaq al-Ulama (Piagam
Ulama).
Para ulama menyadari bahwa umat Islam, khususnya di Indonesia,
menghadapi berbagai persoalan. Pangkal persoalan itu adalah tidak ada
kehidupan Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah Islam di bawah
kepemimpinan seorang khalifah. Karenanya penegakan syariah dan khilafah
adalah mutlak sebab itulah jalan satu-satunya menuju terwujudnya izzul
Islam wal muslimin. Maka dari itu para ulama siap menjadi garda
terdepan dalam perjuangan menegakkan syariah dan khilafah serta membela
para pejuangnya.
Muktamar ini diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia bersamaan
dengan momentum Isra’ Mi’raj 1430 H, sekaligus peringatan 88 runtuhnya
Khilafah. Kegiatan ini selain dihadiri oleh para ulama dari seluruh
Indonesia, juga dihadiri para ulama dari berbagai negara antara lain
India, Bangladesh, Pakistan, Asia Tengah, Turki, Mesir, Yaman, Lebanon,
Palestina, Syam, Sudan, dan Inggris. Secara bergantian para ulama dari
berbagai negara ini menyampaikan pikirannya terhadap kondisi umat Islam
baik di negaranya maupun di dunia internasional. Di sela-sela itu gema
takbir berkumandang. ”Allahu Akbar.” Teriakan: ”Khilafah, khilafah,
khilafah,” bersautan menjelang akhir muktamar.
Ustad Sidiq Al Jawi dari Indonesia, sebagai pembicara pertama
mengawalinya dengan mengungkap berbagai intervensi asing di Indonesia
di segala bidang kehidupan. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam
ternyata penduduknya banyak yang miskin. Menurutnya, ini terjadi karena
Indonesia menerapkan ideologi yang salah sejak merdeka hingga
kini.”Solusinya jelas yakni dengan menerapkan syariah Islam secara
menyeluruh dalam bingkai Khilafah Islam,” katanya.
Para ulama luar negeri dalam muktamar yang menggunakan pengantar bahasa
Arab ini pun menegaskan bahwa umat Islam kian terpuruk ketika menjauh
dari penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah (sistem
pemerintahan Islam). Mereka menyatakan bahwa Khilafah adalah sebuah
kewajiban yang agung, dan berjuang untuk menegakkannya kembali adalah
kewajiban yang agung pula bagi setiap Muslim.
Begitu pentingnya kewajiban itu, sedemikian hingga para sahabat Nabi
SAW bersepakat untuk mendahulukan upaya memilih pemimpin pengganti
Rasulullah (khalifah) daripada memakamkan jenazah Rasulullah SAW,
sekalipun mereka memahami bahwa memakamkan jenazah secara segera
menjadi kewajiban mereka pula. Tindakan para sahabat Nabi SAW ini
menunjukkan arti pentingnya perjuangan untuk menegakkan Khilafah
sebagai sebuah kewajiban yang harus sesegera mungkin dilaksanakan.
Amir Hizbut Tahrir al-‘Alim Abu Rasytah dalam sambutannya yang
diperdengarkan kepada muktamirin mengutip firman Allah dalam surat
Fathir ayat 28 yang menyatakan bahwa hanya ulama-lah yang takut kepada
Allah. Ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga masa depan apa yang
ditinggalkan oleh Nabi SAW tergantung pada ulama.
“Sesungguhnya tegaknya Khilafah bukan sekadar persoalan utama yang
hanya menjamin kemuliaan kaum Muslim dan rahasia kekuatannya saja.
Tetapi itu juga merupakan yang pertama dan terakhir dari berbagai
kewajiban yang lain,”
Syeikh Atha’ menyeru: “Sungguh, kami sangat ingin saudara semuanya ikut
berpartisipasi bersama kami untuk meraih kemuliaan yang agung ini,
dengan berjuang untuk menegakkan Khilafah?” Ia berharap muktamar ini
menjadi pengantar terbitnya fajar Khilafah, sehingga seluruh dunia
diterangi oleh kemuliaan dan kekuatan kaum Muslim. Umat Islam juga
kembali lagi menjadi umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.
Dan negara mereka menjadi negara nomor satu lagi di dunia, yang membawa
kebaikan dan berkah di seluruh aspek kehidupan. (LI)
Berita ne di ambil pada tahun 24 juli-2009
From HTI, Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar