Entah. Allah makin menunjukkan kepada kita bahwa manusia sedang berada di puncak kerapuhan peradaban, menjelang kiamat qubra’, di titik zaman yang menjadikan ‘nafsu kebinatangan’ mereka sebagai ‘tuhan’ baru. Kasus rekaman adegan asusila yang di duga dilakukan oleh pesohor negeri, adalah fakta yang kesekian kali menunjukkan bahwa pornoisme sedang subur-suburnya tumbuh bak jamur di musim penghujan. Saya katakan sebagai sebuah pornoisme, karena hanya negeri yang berpaham seperti inilah yang mengizinkan lahir dan beredarnya pornografi dan pornoaksi. Namun, kita tidak harus berdebat pada tataran definisi ini.
Pornografi dan pornokasi,bukan lagi sekedar bumbu, tapi sudah menjadi sebuah menu. Karena, kalau dulu pembuat film ‘barangkali’ masih menempatkan pornografi pada posisi ‘selingan’ atau sekedar ‘penambah rasa’ bagi karya filmnya, maka kini, pornografi justru menjadi produk utama yang mereka jual. Dulu pun, tampilan wanita molek hanya menjadi pelengkap bagi penayangan iklan suatu produk, tapi kini tak jarang produk tertentu yang justru mengiklankan kemolekan wanita dan pornografi lainnya. Padahal, jelas bahwa antara moleknya tubuh wanita atau pornografisme yang ditampilkan dalam iklan tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan. Aneh memang !
Sayangnya, masyarakat kita rupanya sudah kadung kebal dan, lagi-lagi kehilangan sense of crisis.
Sehingga pornografi yang nyata-nyata ada di hadapan mata tidak lagi
dianggap sebagai sebuah ancaman yang membahayakan. Apalagi banyaknya
persoalan yang mengungkung telah mengalihkan perhatian mereka untuk
memperdulikan permasalahan ini. Seolah, saat ini tak ada yang lebih
penting selain bagaimana menyelesaikan masalah politik dan ekonomi.
Sementara kerusakan akhlak dan kegoncangan struktur sosial menjadi
agenda yang ke sekian untuk mendapat perhatian dan mereka pecahkan
Seperti sebuah keniscayaan yang
diperkenankan, karena disebabkan adanya pergeseran pemahaman
masayarakat dari waktu ke waktu. Hal ini pun berlaku pada
pornoisme,pornografi, dan pornoaksi. Meski pandangan umum masyarakat
masih menempatkan pornografi-pornoaksi sebagai sebuah penyimpangan yang
membahayakan, akan tetapi fakta pula yang menunjukkan bahwa keduanya
begitu sulit diberantas. Bahkan tak sedikit yang percaya bahwa keduanya
tak mungkin diberantas karena sudah dianggap inhern dalam sejarah
kehidupan manusia. Wajar jika ada yang mengatakan bahwa memberangus
pornografi adalah sebuah utopia.
Jelas, ada kerancuan berpikir di sini.
Sekaligus tergambar keputus asaan yang mendalam pada diri masyarakat,
sehingga akhirnya memilih untuk bersikap fatalis seraya ‘menerima’
pornografi sebagai sebuah kewajaran. Padahal banyak fakta yang
menunjukkan, betapa besar bahayanya jika kita membiarkan hal ini
berlarut-larut. Bukankah pornografi dan pornoaksi yang
bertanggungjawab atas terjadinya dekadensi moral di tengah-tengah
masyarakat kita ? Merebaknya seks bebas di kalangan remaja yang secara
otomatis meningkatkan angka kasus aborsi dan MBA yang rentan
perceraian, prostitusi di kalangan ABG, serta meningkatnya kasus-kasus
pelecehan dan kekerasan seksual terbukti banyak diilhami oleh
tayangan-tayangan yang sarat pornografis di media-media cetak maupun
elektronik.
Ketikapun ada usaha untuk
memberantas ketiga hal tersebut, nampak bahwa banyaknya perbenturan
kepentingan telah membuat masyarakat hanya berkutat di tataran
definisi. Ditukarlah ketiga kata tersebut dengan makna yang lebih
halus seperti seni ,hak asasi manusia, atau kebebasan
berperilaku. Sehingga, ketikapun secara normatif pornografi-pornoaksi
(atau setidaknya kasus-kasus pelanggaran kesusilaan) dianggap sebagai
tindak kriminal yang diancam sanksi hukum, muncul ketidakberdayaan yang
amat sangat dari hukum tersebut untuk menjerat para pelaku kasus
pornografi-pornoaksi hanya karena begitu multi interpretatifnya kedua
istilah tersebut.
‘Ala kulli hal, betapa sakitnya
menjadi masyarakat negeri ini, segala hal berbuntut buah
simalakama. Hasilnya, Kehidupan menjadi begitu serba dilematis sekaligus
dramatis. Mau memberantas pornoaksi, dibuatlah UU P yang serba
tambal dan sulam, mau memberantas pornografi, dicantumkanlah sedikit
aturannya dalam UU ITE. Tidak ada solusi yang menyeluruh. Pantas
saja, anak-anak kita bisa mengakses pornografi dan pornokasi
dengan begitu mudahnya, bahkan di ruang keluarga mereka sendiri.
Berapa banyak kasus pornografi dan
pornoaksi yang menyeruak dan menyita perhatian masayarakat?
Berapa banyak yang di usut ? hingga tuntaskah? Nyatanya kasus itu
pun menguap entah bermuara di mana. Bias.
Apa yang salah?
Penting di cermati, media massa dan
elektronik yang secara simultan dan demonstratif menstimulus naluri
seksual masyarakat (terutama remajanya) melalui tayangan-tayangan
mereka, sehingga mau tidak mau naluri seksual tadi mudah terbangkitkan
menuntut pemenuhan. Sementara di sisi lain, lemahnya pemahaman dan
penghayatan terhadap ajaran agama (baca : ketaqwaan individu) sudah
demikian menipis sejalan dengan derasnya arus sekularisasi yang -sadar
atau tidak- justru mulai diadopsi menjadi ‘agama baru’ oleh mayoritas
masyarakat kita sekaligus menjadi landasan pengaturan kehidupan mereka
yang jelas-jelas sangat kapitalistik ini
Dalam konteks ini, kondisi tersebut
menyebabkan tidak adanya pengendali yang ampuh bagi kemunculan dorongan
stimulan seksual yang datang bertubi-tubi, sehingga merekapun lantas
melampiaskannya dengan cara-cara yang miskin dari aturan dan norma,
layaknya binatang; menghalalkan segala cara ! Dan terciptalah, gaya
hidup ‘miring’ yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Inilah fakta yang terjadi hingga saat
ini yang semestinya segera diantisipasi secepat mungkin. Tentu saja
dengan solusi yang mengarah pada penyelesaian menyeluruh dan mendasar,
bukan hanya sekedar solusi praktis yang tak lebih dari cara tambal sulam
seperti yang selama ini banyak disodorkan. Dalam hal ini, tentu kita
tidak bisa memandang persoalan pornografi ini sekedar sebagai persoalan
sosial yang terpisah dari aspek kehidupan lainnya seperti persoalan
politik, hukum dan ekonomi. Bahkan harus dipahami bahwa kesemua aspek
tadi saling kait-mengkait, sehingga penyelesaiannya pun harus kembali
kepada sistem. Dalam hal ini, yang paling mendasar adalah melakukan kaji
ulang terhadap ‘kelayakan’ sistem yang sedang diterapkan saat ini,
baik dari aspek pemikiran-pemikiran mendasarnya maupun realitas fakta
penerapan dan hasil-hasilnya. Setelah itu, baru kita akan bisa
menentukan langkah apa yang harus dilakukan mulai saat ini ke depan.
Islam sebagai solusi, bukan altrenatif
Tengoklah sejarah, maka akan anda
lihat, bahwa ketika sistem Islam diterapkan sempurna dan konsisten,
masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang sangat ‘bersih’ dan
maju. Ketinggian peradaban dan kemajuan yang pesat di bidang iptek
menjadi ciri yang melekat yang menjadikan masyarakat ini menjadi berbeda
dengan umat-umat lain pada masa itu. Sementara itu, sejarah juga
mencatat, bahwa selama 13 abad sistem Islam tegak, hanya sedikit
kasus-kasus kriminal yang terjadi. Untuk kasus pencurian yang berakhir
dengan penerapan sanksi potong tangan misalnya, dalam kurun waktu 13
abad itu tercatat hanya terjadi 200 kasus saja.
Ketinggian Islam yang bukan hanya
sebagai sebuah agama, tetapi juga sebagai sistem hidup,
ditunjukkan dengan adanya seperangkat aturan yang mengatur seluruh
bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia, baik yang berkaitan
dengan aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, hankam, dan sebagainya.
Aturan-aturan inilah yang sekaligus berfungsi sebagai metode meraih
ketinggian peradaban masyarakat berupa terjaganya jenis manusia, akal,
kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamananan serta
terjaganya kewibawaan dan eksistensi masayarakatnya.
Dalam hal memberangus pornoisme,
pornografi, dan pornokasi misalnya, ada beberapa prinsip yang harus
dipahami oleh setiap individu masyarakat, seperti aturan tentang batasan
aurat, keharusan menjaga pandangan, larangan mendekati zina (apalagi
berzinanya), larangan adanya percampurbauran antara kehidupan laki-laki
dan wanita, dan lain-lain. Adapun secara praktis, jaminan pelaksanaan
aturan tersebut diatur dengan diterapkannya sanksi (uqubat) yang tegas
dan tidak pandang bulu atas pelaku pelanggaran oleh pihak negara. Dimana
dalam pandangan Islam, sanksi tersebut berfungsi sebagai pencegah dan
sekaligus penebus. Sebagai pencegah, karena beratnya ancaman hukuman
akan membuat orang berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan.
Sebagai penebus, karena seseorang yang bersalah dan kemudian dihukumi
dengan hukum Islam sesuai dengan jenis kesalahannya, maka hukumannya itu
akan menjadi penebus dosa bagi dirinya di akhirat kelak.
Sebagai contoh, perzinahan maupun
faktor-faktor yang bisa mengarah pada terjadinya praktek perzinahan
(termasuk pornografi dan erotisme) di dalam Islam sama sekali tidak
diberi peluang untuk tumbuh subur, yakni dengan ditetapkannya sanksi
yang sangat berat bagi para pelakunya. Dalam kasus perzinahan ini
misalnya, pelaku yang belum pernah menikah akan dihukum dengan hukuman
jilid (dicambuk) dengan 100 kali cambukan, sementara pelaku yang pernah
menikah dihukum rajam hingga mati.
Beratnya ancaman hukum Islam seperti
itulah yang akan menjadi pencegah bagi merebaknya praktek perzinahan di
dalam masyarakat, sekaligus dipastikan akan menjadi penebus dosa bagi
para pelakunya.
Disinilah konsepsi Islam melalui negara
memiliki peran penting dalam menjaga masyarakat melalui penerapan
seluruh aturan Islam tanpa kecuali atas seluruh warga negaranya.
Disamping membentuk ketakwaan-ketakwaan individu dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar