ALLAH Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) menciptakan manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen,
kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.
Dalam sebuah hadits disampaikan, “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
dan Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و
سلم) di atas
menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah
Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu
sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu. Sebelum
menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara
adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh
ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang
kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan,
kekayaan dan ilmu.
Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah
lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman
dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan,
kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa),
kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani
oleh islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita
tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan
pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan
kebahagiaan kita.
Islam dan Dinullah
Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita,
bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama
yang dibuat oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه
و سلم). Yang memberi nama seseorang sebagai muslim
adalah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى). Allah memberi standar (ukuran),
criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan
sebagai muslim. Tentu, muslim di sini adalah muslim hakiki, lahir dan batin,
hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه
و سلم) diutus di muka bumi ini.
Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu
huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)
kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.
Dalam tata bahasa Arab, muslim adalah isim fa’il (pelaku)
yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri.
Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah
diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang
kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan).
Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan
secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak,
sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan.
Jadi seorang muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa
dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى). Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan
merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera,
bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.
Seorang muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan
merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat,
bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah).
Menyangkut system ideologi, politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi,
pertahanan kemanan dll.
Islam, Dinul Kaun
Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang
tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu
peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya
sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).
Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak
dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya
dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda
yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada
sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut
ketentuan itu.
Hingga manusia pun apabila kita perhatikan secara cermat
keadaannya, niscaya ia tunduk kepada peraturan-peraturan (sunnah) Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) dengan sepenuhnya. Ia tidak bernafas dan
tidak merasai kebutuhannya akan air, makanan, cahaya panas, kecuali menurut
undang-undang Allah yang mengatur kehidupannya, juga hati manusia dan
gerakannya, peredaran darah nafasnya, keluar masuknya tunduk kepada
undang-undang ini jua. Semua anggota badannya, seperti otak, perut besar,
paru-paru, urat saraf, urat daging, dua tangan, dua kaki, lidah, dua mata,
hidung, dan telinga semua berserah diri kepada-Nya.
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud
pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar Ra’d (13) : 15).
Miniatur Madinah
Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama
“Madinah”. Jadi Din itu tidak bisa dipisahkan dari Daulah (susunan kekuasaan).
Kekuasaan sebagai alat tetangga seagama dulu kemudian membangun rumah).
اَلْمَرء
عَلَى ديْن خَليْله فَلْيَنْظُر
الىَ مَنْ يُخاَللُ
“Seseorang itu tergantung pada din sahabatnya maka perhatikanlah
kepada siapa ia menjalin teman akrab.” (HR. Ahmad).
مَثَلُ
ماَبَعَثَنيَ اللهُ به منَ
الْهُدَى وَالْعلْم كَمَثَل الْغيْث الْكَثيْر
أَصاَبَ أَرْضاُ فَكَانَ منْهاَ
نَقيةٌ قَبلَت الْماَءَ فأَنْبَتَتْ
الْكلأ وَالْعُشْبَ الْكَثيْرَ وَكاَنَتْ منْهاَ أَجاَدبَ أَمْسَكَت
الْماءَ فَنَفَعَ اللهُ بهاَ النَاسُ
فَشَربُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ منْهاَ طَائفَةٌ أُخْرَى
انمَا هيَ قَيْعاَنٌ لاَ
تَمْسكُ ماَءٌ وَلاَ تُنْبتُ
كلَأً فَدلكَ مَثَلُ مَنْ
فَقُهَ فيْ ديْن الله
وَنَفَعَهُ ماَ بَعَثَنيَ اللهُ
به فَعَلمَ وَعلمَ وَمَثَلُ
مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بدلكَ
رَأْساً وَ لًمْ يَقْبَلْ
هُدَى الله الَديْ أُرْسلْتُ
به
“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh
Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus
menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada
tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi
manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok
tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air
dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah
dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia
tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli
dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.” (HR.
Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).
Di tempat bernama “Madinah” dihuni oleh orang-orang
yang memiliki keterikatan yang kuat dengan nilai-nilai Dinul Islam. Yakni,
Sumber Daya Insani yang mukmin (menomorsatukan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى),
menjadikan al-Quran sebagai dustur (undang-undangnya), memiliki kebersihan
hati, peka terhadap penderitaan orang lain, mengidolakan para nabi, syuhada,
shiddiqun, sholihun, muttaqin, mujahid dan mushlih.
Dari komunitas tersebut, secara otomatis akan lahir kultur
yang islamiyah (agamis), da-abus shalihin, berkarakter sesuai dengan aturan
kalimatullah dan khalqullah, ‘ilmiyah (terdidik), ustadziyah ‘alamiyyah
(kepeloporan internasional), tamaddun (maju dan bermartabat).
Dari akar kata Din dan Madinah ini, juga dibentuk akar kata
baru “madana”, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memakmurkan,
mensejahterahkan secara lahir dan batin, memurnikan dan memartabatkan.
Maka, seseorang yang memeluk Islam secara benar, ia pasti
akan mensucikan, memartabatkan dan memakmurkan dirinya baik secara hissiy
(material) dan ma’nawiy (immaterial).
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal
(8) : 24).
Kalimat ‘yuhyiikum’ dalam ayat diatas maksudnya adalah
‘yuhyin-nufus’ (menghidupkan jiwa), yuhyil-qulub (menghidupkan hati),
yauhyidh-dhamir (menghidupkan suara dhamir). Jadi, berislam adalah
memberdayakan fitrah kita. Senang kepada makruf (kebaikan yang dikenali hati)
dan membenci mungkar (keburukan yang diingkari hati). Mendorong pemeluknya
untuk hidup maju secara lahir dan batin serta bermartabat. Inilah yang dimaksud
nikmat berlimpah.
Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada
kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan
memberatkan.
“Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya
azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun
dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’du (13) : 34).
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun
golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu
tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra (17) : 20).
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara
literal (teks) berarti peradaban (civilization), berarti juga kota berlandaskan
kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di
kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk
pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun
al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906.
Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas
dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian
peradaban. Adapun kata hadharah digunakan oleh orang Arab sekarang untuk makna
peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang
kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun.
Seorang muslim adalah orang yang berlepas diri dari
kemusyrikan (selingkuh kepada-Nya) dan kekafiran (ingkar kepada Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Mereka tidak memelihara (hubungan)
kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian.
dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat,
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui. (QS. At Taubah (9) :10- 11).
Ayat ini menegaskan bahwa muslim adalah orang yang telah
mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya, selalu
mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, mendekati-Nya dan tidak menjauhi-Nya,
mensyukuri nikmat-Nya dan tidak mengingkari-Nya (mu’taqodat).
Maka, Muslim yang benar adalah ia anti kemusyrikan,
kekafiran, anti hukmul jahiliyyah, dhannul jahiliyyah, syakwal jahiliyyah,
hamiyyatul jahiliyyah, tabarrujul jahiliyyah, da’wal jahiliyyah dan
memproklamirkan kalimat tauhid “ La Ilaha Illalla” dan pasti mendukung Syariat
Allah Subhanahu Wata ‘ala.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik
al-Asyja’i bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (صلى الله عليه
و سلم) bersabda:
مَنْ قاَلَ لاَ الَهَ
الا الله وَكَفَرَ بما
يعبد من دون الله
حَرَم اللهُ دَمُهُ وَماَلُهُ
وَحساَبُهُ عَلَى الله
“Barangsiapa mengikrarkan laa ilaaha illallah dan dia
mengingkari segala perhitungannya terserah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)تعالى).” (HR. Muslim).
Karenanya, jika ada orang Muslim menentang syariah
–bahkan—memusuhinya, boleh jadi dia belum paham kemuslimannya dan tidak tahu
konsekwensi syahadat yang telah dia katakan tiap saat ketika shalat.
Marilah kita habiskan umur kita agar syariat-Nya mendominasi
kehidupan. Ini adalah amanah vertikal dan horisontal (tugas-tugas keagamaan),
wazhifah diniyyah. Agar melahirkan kehidupan individu yang bahagia secara lahir
dan batin (hayatan thayyiban), keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dan
qaryah mubarakah, ahlul qura (perkampungan yang diberkahi), baladan amina,
ummul qura (negeri yang aman), global state, kumpulan berbagai Negara yang
makmur, penuh ampunan Tuhan, ummul qura wa man haulaha (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur), dunia yang damai (rahmatan lil ’alamin).
ALLAH Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) menciptakan manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen,
kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.
Dalam sebuah hadits disampaikan, “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
dan Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و
سلم) di atas
menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah
Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu
sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu. Sebelum
menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara
adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh
ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang
kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan,
kekayaan dan ilmu.
Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah
lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman
dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan,
kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa),
kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani
oleh islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita
tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan
pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan
kebahagiaan kita.
Islam dan Dinullah
Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita,
bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama
yang dibuat oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه
و سلم). Yang memberi nama seseorang sebagai muslim
adalah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى). Allah memberi standar (ukuran),
criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan
sebagai muslim. Tentu, muslim di sini adalah muslim hakiki, lahir dan batin,
hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه
و سلم) diutus di muka bumi ini.
Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu
huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)
kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.
Dalam tata bahasa Arab, muslim adalah isim fa’il (pelaku)
yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri.
Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah
diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang
kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan).
Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan
secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak,
sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan.
Jadi seorang muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa
dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى). Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan
merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera,
bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.
Seorang muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan
merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat,
bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah).
Menyangkut system ideologi, politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi,
pertahanan kemanan dll.
Islam, Dinul Kaun
Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang
tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu
peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya
sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).
Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak
dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya
dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda
yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada
sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut
ketentuan itu.
Hingga manusia pun apabila kita perhatikan secara cermat
keadaannya, niscaya ia tunduk kepada peraturan-peraturan (sunnah) Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) dengan sepenuhnya. Ia tidak bernafas dan
tidak merasai kebutuhannya akan air, makanan, cahaya panas, kecuali menurut
undang-undang Allah yang mengatur kehidupannya, juga hati manusia dan
gerakannya, peredaran darah nafasnya, keluar masuknya tunduk kepada
undang-undang ini jua. Semua anggota badannya, seperti otak, perut besar,
paru-paru, urat saraf, urat daging, dua tangan, dua kaki, lidah, dua mata,
hidung, dan telinga semua berserah diri kepada-Nya.
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud
pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar Ra’d (13) : 15).
Miniatur Madinah
Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama
“Madinah”. Jadi Din itu tidak bisa dipisahkan dari Daulah (susunan kekuasaan).
Kekuasaan sebagai alat tetangga seagama dulu kemudian membangun rumah).
اَلْمَرء
عَلَى ديْن خَليْله فَلْيَنْظُر
الىَ مَنْ يُخاَللُ
“Seseorang itu tergantung pada din sahabatnya maka perhatikanlah
kepada siapa ia menjalin teman akrab.” (HR. Ahmad).
مَثَلُ
ماَبَعَثَنيَ اللهُ به منَ
الْهُدَى وَالْعلْم كَمَثَل الْغيْث الْكَثيْر
أَصاَبَ أَرْضاُ فَكَانَ منْهاَ
نَقيةٌ قَبلَت الْماَءَ فأَنْبَتَتْ
الْكلأ وَالْعُشْبَ الْكَثيْرَ وَكاَنَتْ منْهاَ أَجاَدبَ أَمْسَكَت
الْماءَ فَنَفَعَ اللهُ بهاَ النَاسُ
فَشَربُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ منْهاَ طَائفَةٌ أُخْرَى
انمَا هيَ قَيْعاَنٌ لاَ
تَمْسكُ ماَءٌ وَلاَ تُنْبتُ
كلَأً فَدلكَ مَثَلُ مَنْ
فَقُهَ فيْ ديْن الله
وَنَفَعَهُ ماَ بَعَثَنيَ اللهُ
به فَعَلمَ وَعلمَ وَمَثَلُ
مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بدلكَ
رَأْساً وَ لًمْ يَقْبَلْ
هُدَى الله الَديْ أُرْسلْتُ
به
“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh
Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus
menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada
tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi
manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok
tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air
dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah
dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia
tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli
dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.” (HR.
Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).
Di tempat bernama “Madinah” dihuni oleh orang-orang
yang memiliki keterikatan yang kuat dengan nilai-nilai Dinul Islam. Yakni,
Sumber Daya Insani yang mukmin (menomorsatukan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى),
menjadikan al-Quran sebagai dustur (undang-undangnya), memiliki kebersihan
hati, peka terhadap penderitaan orang lain, mengidolakan para nabi, syuhada,
shiddiqun, sholihun, muttaqin, mujahid dan mushlih.
Dari komunitas tersebut, secara otomatis akan lahir kultur
yang islamiyah (agamis), da-abus shalihin, berkarakter sesuai dengan aturan
kalimatullah dan khalqullah, ‘ilmiyah (terdidik), ustadziyah ‘alamiyyah
(kepeloporan internasional), tamaddun (maju dan bermartabat).
Dari akar kata Din dan Madinah ini, juga dibentuk akar kata
baru “madana”, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memakmurkan,
mensejahterahkan secara lahir dan batin, memurnikan dan memartabatkan.
Maka, seseorang yang memeluk Islam secara benar, ia pasti
akan mensucikan, memartabatkan dan memakmurkan dirinya baik secara hissiy
(material) dan ma’nawiy (immaterial).
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal
(8) : 24).
Kalimat ‘yuhyiikum’ dalam ayat diatas maksudnya adalah
‘yuhyin-nufus’ (menghidupkan jiwa), yuhyil-qulub (menghidupkan hati),
yauhyidh-dhamir (menghidupkan suara dhamir). Jadi, berislam adalah
memberdayakan fitrah kita. Senang kepada makruf (kebaikan yang dikenali hati)
dan membenci mungkar (keburukan yang diingkari hati). Mendorong pemeluknya
untuk hidup maju secara lahir dan batin serta bermartabat. Inilah yang dimaksud
nikmat berlimpah.
Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada
kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan
memberatkan.
“Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya
azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun
dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’du (13) : 34).
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun
golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu
tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra (17) : 20).
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara
literal (teks) berarti peradaban (civilization), berarti juga kota berlandaskan
kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di
kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk
pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun
al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906.
Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas
dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian
peradaban. Adapun kata hadharah digunakan oleh orang Arab sekarang untuk makna
peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang
kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun.
Seorang muslim adalah orang yang berlepas diri dari
kemusyrikan (selingkuh kepada-Nya) dan kekafiran (ingkar kepada Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Mereka tidak memelihara (hubungan)
kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian.
dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat,
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui. (QS. At Taubah (9) :10- 11).
Ayat ini menegaskan bahwa muslim adalah orang yang telah
mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya, selalu
mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, mendekati-Nya dan tidak menjauhi-Nya,
mensyukuri nikmat-Nya dan tidak mengingkari-Nya (mu’taqodat).
Maka, Muslim yang benar adalah ia anti kemusyrikan,
kekafiran, anti hukmul jahiliyyah, dhannul jahiliyyah, syakwal jahiliyyah,
hamiyyatul jahiliyyah, tabarrujul jahiliyyah, da’wal jahiliyyah dan
memproklamirkan kalimat tauhid “ La Ilaha Illalla” dan pasti mendukung Syariat
Allah Subhanahu Wata ‘ala.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik
al-Asyja’i bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (صلى الله عليه
و سلم) bersabda:
مَنْ قاَلَ لاَ الَهَ
الا الله وَكَفَرَ بما
يعبد من دون الله
حَرَم اللهُ دَمُهُ وَماَلُهُ
وَحساَبُهُ عَلَى الله
“Barangsiapa mengikrarkan laa ilaaha illallah dan dia
mengingkari segala perhitungannya terserah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)تعالى).” (HR. Muslim).
Karenanya, jika ada orang Muslim menentang syariah
–bahkan—memusuhinya, boleh jadi dia belum paham kemuslimannya dan tidak tahu
konsekwensi syahadat yang telah dia katakan tiap saat ketika shalat.
Marilah kita habiskan umur kita agar syariat-Nya mendominasi
kehidupan. Ini adalah amanah vertikal dan horisontal (tugas-tugas keagamaan),
wazhifah diniyyah. Agar melahirkan kehidupan individu yang bahagia secara lahir
dan batin (hayatan thayyiban), keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dan
qaryah mubarakah, ahlul qura (perkampungan yang diberkahi), baladan amina,
ummul qura (negeri yang aman), global state, kumpulan berbagai Negara yang
makmur, penuh ampunan Tuhan, ummul qura wa man haulaha (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur), dunia yang damai (rahmatan lil ’alamin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar