Sistem
pemerintahan itu seperti sebuah bangunan; kokoh-tidaknya dipengaruhi
oleh fondasi/pilar yang menjadi penopangnya. Jika kita memperhatikan
sistem pemerintahan berbasis ideologi yang ada di dunia, maka kita
menemukan bahwa sistem pemerintahan yang berbasis ideologi Kapitalisme
dan Sosialisme tidak ada yang mampu bertahan dengan kokoh dan kuat
hingga memasuki masa satu abad. Keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991
menandai hancurnya ideologi Sosialisme ateis ini. Kini, maraknya aksi
anti-ekonomi AS yang berlangsung akahir-akhir ini menjadi pertanda
bahwa ideologi Kapitalisme sedang sekarat. Sebaliknya, sistem
pemerintahan yang berbasis ideologi Islam atau sistem pemerintahan
Islam mampu bertahan dengan kuat dan kokoh hampir tiga belas abad
lamanya. Lalu, seperti apakah fondasi/pilar yang menjadi rahasia di
balik kekuatan dan kokohnya sistem pemerintahan Islam tersebut?
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 22, yang berbunyi: “Sistem
pemerintahan Islam tegak di atas empat pilar: (1) Kedaulatan milik
syariah, bukan milik rakyat; (2) Kekuasaan berada di tangan rakyat; (3)
Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum Muslim; (4)
Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah dan menetapkan
konstitusi.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 109).
Kedaulatan Milik Syariah, Bukan Milik Rakyat
Kedaulatan (as-siyâdah)
adalah istilah asing, yakni “otoritas absolut tertinggi, sebagai
satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan hukum segala sesuatu dan
perbuatan.” (Al-Khalidi,Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 24).
Dalam
hal kedaulatan ini, sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem
demokrasi. Dalam Sistem demokrasi, kedaulatan berangkat dari premis:
jika seorang individu melakukan dan menjalankan kehendaknya sendiri,
maka ia berdaulat atas dirinya sendiri; sebaliknya jika kehendaknya
dilakukan dan dijalankan oleh orang lain, maka ia menjadi budak bagi
orang lain; jika kehendak umat (rakyat) dijalankan oleh sejumlah
individu yang telah diberi kewenangan untuk menjalankannya, maka umat
menjadi tuan atas dirinya sendiri, sebaliknya jika kehendaknya
dijalankan oleh orang lain dengan paksa, maka itu otoriterisme. Karena
itu, sistem demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan milik rakyat, yakni
rakyatlah yang melakukan sendiri kehendaknya melalui orang yang telah
diberi wewenang untuk melakukannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 110).
Sebaliknya,
sistem pemerintahan Islam menetapkan bahwa kedaulatan milik syariah.
Artinya, yang menjalankan kehendak individu adalah syariah, bukan
individu manusia itu sesukanya. Kehendak dijalankan berdasarkan
perintah dan larangan Allah. Begitu juga dengan umat (rakyat); semua
kehendaknya ditentukan dan dijalankan berdasarkan perintah dan larangan
Allah. Dalil atas masalah ini adalah firman Allah SWT:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
Demi
Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Rasulullah saw. juga bersabda:
« لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبْعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ »
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga setiap keinginannya mengikuti apa (syariah) yang telah aku bawa (HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah).
Imam an-Nawawi berkata bahwa hadis ini hasan-shahih (An-Nawawi, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 111).
Dengan
demikian satu-satunya penentu kehendak umat dan individu adalah syariah
yang dibawa oleh Rasulullah saw. Artinya, umat dan individu harus
tunduk pada ketentuan syariah. Dari sinilah ditetapkan bahwa kedaulatan
milik syariah. Inilah pendapat mayoritas kaum Muslim. Bahkan, menurut
Imam asy-Syaukani dalam masalah ini tidak ada perbedaan di kalangan
ulama ushul dan lainnya (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 34).
Oleh
karena itu, Khalifah tidak dibaiat oleh umat sebagai pekerjanya untuk
menjalankan kehendak umat, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Khalifah
dibaiat oleh umat untuk menerapkan al-Quran dan as-Sunnah (syariah).
Karena itu, ketika ada anggota masyarakat yang membangkang dari
ketentuan syariah, maka Khalifah akan memeranginya hingga mereka
kembali dan mengakui kesalahannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 111).
Kekuasaan di Tangan Rakyat
Pilar
ini diambil melalui penelitian dan kajian mendalam atas hukum-hukum
syariah dan realitas politik dalam kehidupan Islam, bahwa pengangkatan
seorang kepala negara (khalifah) tidak sah kecuali melalui kehendak
(baiat) dari umat, mayoritas umat, atau yang mewakili kehendak umat,
yaitu ahlul halli wal aqdi; dan bahwa khalifah hanya mengambil kekuasaan melalui baiat umat ini (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 111; Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20).
Dalil
yang menetapkan pengangkatan khalifah harus oleh umat jelas sekali
ditunjukkan dalam hadis-hadis tentang baiat. Di antaranya hadis dari
Ubadah bin Shamit yang berkata:
« بَايَعْنَا رَسُولَ ا للهُ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ »
Kami
telah membaiat Rasulullah saw. untuk senantiasa mendengar dan menaati
beliau, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami
senangi (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari
hadis ini dipahami bahwa kaum Muslimlah yang membaiat Khalifah, bukan
Khalifah yang membaiat kaum Muslim, yakni kaum Muslim yang menjadikan
khalifah penguasa atas mereka. Realitas sejarah sepanjang masa Khulafa
ar-Rasyidin menunjukkan bahwa mereka tidak menjadi khalifah kecuali
melalui pembaiatan umat kepada mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 111).
Dalil
bahwa Khalifah mengambil kekuasaan hanya melalui baiat umat ini juga
jelas ditunjukkan oleh hadis-hadis tentang kewajiban taat kepada
Khalifah dan hadis-hadis tentang kesatuan Khilafah. Di antaranya hadis
dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang berkata bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
«
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا
عُنُقَ الآخَرِ »
Siapa
saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu memberikan uluran
tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaati khalifah itu
selama masih mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut
kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu(HR Muslim).
Hadis
ini menunjukkan bahwa Khalifah mendapatkan kekuasaan hanya melalui
baiat. Sebab, Allah mewajibkan umat taat kepada Khalifah karena adanya
baiat: siapa saja yang telah membaiat … maka hendaklah ia menaatinya.
Artinya, Khalifah itu telah mengambil Khilafah dengan baiat itu
sehingga ia wajib ditaati, sebab ia seorang khalifah yang telah
dibaiat. Ini merupakan dalil yang jelas bahwa “kekuasaan berada di tangan rakyat” yang akan diberikan kepada siapa yang mereka kehendaki (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 112; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97).
Mengangkat Seorang Khalifah Fardhu atas Seluruh Kaum Muslim
Dalil
atas pilar sistem pemerintahan Islam yang ketiga ini ditunjukkan dalam
dalam hadis Rasulullah saw. melalui penuturan Nafi’ dari Abdullah bin
Umar ra. yang berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw.
bersabda:
«
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ ا للهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ
حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً »
Siapa saja yang melepaskan
tangan dari ketaatan (kepada Khalifah), maka ia pasti menjumpai Allah
pada Hari Kiamat nanti tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang
meninggal, sementara di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliah (berdosa) (HR Muslim).
Berdasarkan
hadis ini setiap Muslim wajib di pundaknya ada baiat kepada Khalifah.
Namun, beliau tidak mewajibkan setiap Muslim membaiat Khalifah secara
langsung. Yang wajib adalah adanya baiat di pundak setiap Muslim, yakni
adanya Khalifah yang bisa dibaiat. Dengan demikian, adanya Khalifah
itulah yang menjadikan di pundak setiap Muslim ada baiat, baik ia
membaiat khalifah secara langsung atau tidak (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 11).
Adapun
dalil bahwa keberadaan khalifah itu harus satu saja adalah hadis
riwayat Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
« إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا »
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya (HR Muslim).
Hadis
ini dengan jelas menunjukkan bahwa haram di tengah-tengah kaum Muslim
ada dua orang khalifah. Sebab, Rasulullah saw memerintahkan supaya
membunuh khalifah yang datang setelah adanya khalifah yang sah menurut
syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah II, hlm. 38; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 37; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 316).
Hanya Khalifah yang Berhak Mengadopsi Hukum Syariah dan Menetapkan Konstitusi
Pilar
keempat ini menegaskan bahwa otoritas untuk mengadopsi dan menetapkan
hukum ada di tangan Khalifah selaku kepala negara. Dalilnya adalah
Ijmak Sahabat. Misalnya, pada saat Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau
menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak satu. Namun,
saat Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, beliau menetapkan ucapan
talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Para Sahabat Nabi saw.
tidak ada yang mengingkari tindakan kedua Khalifah itu. Dengan
demikian, telah terwujud Ijmak Sahabat dalam dua persoalan. Pertama: Khalifah berhak mengadopsi dan menetapkan hukum syariah yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: wajib atas rakyat menaati Khalifah dalam hukum-hukum syariah yang telah diberlakukan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 17).
Berdasarkan Ijmak Sahabat tersebut di-istinbâth atau digali beberapa kaidah syariah yang terkenal, yaitu:
« أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ »
Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.
« أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِراً وَبَاطِناً »
Perintah Imam (Khalifah) wajib dilaksanakan secara lahir maupun batin.
« لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ »
Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan baru sesuai dengan problem-problem baru yang terjadi (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113).
Dengan
ini jelaslah bahwa hak mengadopsi hukum syariah dan memberlakukan
konstitusi dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) ada di tangan
Khalifah saja, bukan yang lain.
Khatimah
Inilah
empat pilar yang menjadi rahasia di balik kekuatan dan kokohnya sistem
pemerintahan Islam (Khilafah), yang tidak lama lagi akan tegak kembali.
Dengan izin Allah, Khilafah akan segera menggantikan sistem
pemerintahan berbasis ideologi Kapitalisme yang telah sekarat, yang
akhir-akhir ini marak dikecam rakyat, termasuk di jantung pusat
persemayamannya, di Amerika Serikat. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [] Muhammad Bajuri
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
An-Nawawi, Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, (Beirut: Darul Kurub al-Ilmiyah), Cetakan I, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar